Selasa, 23 September 2008

TEATER DINASTI

Reuni� Dinasti-Kanjeng, Mencari Martabat Manusia
07/04/2008 08:26:12 �NYANYIAN Gelandangan�, sebuah nomor musik puisi karya Emha Ainun Nadjib dan Teater Dinasti yang begitu populer pada tahun 1980-an, kembali dihadirkan menandai �reuni� Teater Dinasti (24/3) lalu, di Dipowinatan Yogyakarta. Puisi itu mengisahkan perlunya manusia menemukan martabatnya baik secara kultural maupun transendental.
Bedanya kali ini, nomor itu dikreasi lewat kolaborasi Dinasti dan Kiai Kanjeng (Novi Budianto, Joko Kamto, Jijit, Bobiet dan kawan-kawan). Jika dulu puisi itu dibacakan Emha, kali ini dibacakan aktor Joko Kamto dan Seteng. Perkawinan antara musik pentatonis-diatonis dan puisi yang kritis namun sublim itu mampu memukau ratusan orang. Tampak hadir Fajar Suharno, Tertib Suratmo (dua eks Bengkel Teater Rendra dan pendiri Teater Dinasti), Fauzi Ridjal (tokoh Angkatan 66 yang suntuk menemani proses Dinasti) dan para anggota Teater Dinasti antara lain pantomimer Jemek Supardi.
Teater Dinasti penting untuk dibicarakan dalam konteks pertumbuhan dunia teater di Yogyakarta. Teater yang lahir pada tahun 1977 ini memiliki beberapa karakter khas dan unik.
Pertama, kelompok ini lebih� memilih teater sebagai medium daripada teater an sich. Pada tahun 1970-an, Emha mengintrodusir dua istilah itu: teater medium merupakan aktivitas budaya yang meletakkan teater sebagai media pengolahan kepribadian manusia; sedangkan teater an sich, adalah aktivitas teater yang lebih berorientasi kepada estetisme dan masalah teknis.
Bagi Teater Dinasti, manusia adalah makhluk yang memiliki berbagai kemungkinan untuk dikembangkan. Potensi manusia akan muncul jika manusia memiliki kepribadian. Maka mengolah kepribadian menjadi sangat penting dan mendasar. Pengolahan kepribadian akan mengantar manusia kepada inti-inti nilai kehidupan: tanggung jawab, kemandirian, kejujuran, ketulusan, kerja keras, integritas, kecerdasan intelektual/spiritual, sikap sosial, kritis, sikap objektif, toleransi, idealisme dan lainnya. Semuanya itu menjadi modal penting bagi manusia dalam memasuki proses �menjadi� (to be) sesuatu (dari nothing ke something).
Di sinilah pentingnya Teater Dinasti: teater disikapi menjadi sekolah kehidupan atau workshop (bengkel kerja) kehidupan di mana jiwa, mental, pikiran dan kesadaran manusia dibangkitkan dari kondisi dan situasi yang dipenuhi hal-hal yang artifisial (semu), penuh tipu daya, dekaden, disoriented, tak berdaya dan lainnya. Saya kira, prinsip dan metode pengolahan ini masih relevan untuk dikembangkan hingga kini dalam jagat teater, bahwa ada nilai signifikan dan mendasar yang diperjuangkan dalam berteater. Yakni human dignity (martabat manusia); sebuah persoalan yang menjadi tema besar sejak masa pergerakan,� masa kemerdekaan, hingga awal tahun 1980-an, baik dalam sastra, teater, politik maupun bidang kehidupan lainnya.
Kedua, dalam hal orientasi budaya dan estetis. Dinasti memilih nilai-nilai budaya tradisi (Jawa) yang direvitalisasi. Artinya, Dinasti tidak mencomot begitu saja budaya tradisi dari laci masa silam, melainkan melakukan tafsir ulang sekaligus memberi daya hidup �baru� sehingga selalu aktual.
Orientasi pada budaya tradisi Dinasti turut mempengaruhi perkembangan teater berikutnya, misalnya dalam bentuk teater sampakan (istilah penyair Kirjomulyo) antara lain lewat Gandrik yang ditulangpunggungi oleh beberapa anggota Dinasti: Jujuk Prabowo, Novi Budianto, Butet Kartaredjasa, Saptaria Handayaningsih (almarhumah) dan Neneng Suryaningsih, selain beberapa teaterawan yang bukan anggota Dinasti: Heru Kesawa Murti, Susilo Nugroho, Djaduk Ferianto, Sepnu dan lainnya. Sadar atau tidak, keterlibatan Jujuk, Novi, Butet dalam Dinasti ikut mempengaruhi pertumbuhan Gandrik. Dan hal ini sangat wajar. Apalagi, pada masa� awal Gandrik berdiri, Fajar Suharno (sutradara Dinasti) terlibat di dalamnya, antara lain sebagai penulis naskah.
Ketiga, dalam muatan nilai, Dinasti memilih tema-tema sosial, budaya dan politik yang menjadi persoalan kehidupan masyarakat (baca: membumikan teater). Upaya ini tercermin pada pilihan lakon-lakon yang dipanggungkan, antara lain Dinasti Mataram (karya Fajar Suharno), Raden Gendrek Sapu Jagat (Gajah Abiyoso dan Fajar Suharno), Geger Wong Ngoyak Macan (karya Emha, Fajar dan Gadjah Abiyoso), Patung Kekasih (Emha, Fajar dan Simon Hate), Topeng Kayu (Kuntowijoyo) dan Umang-umang (Arifin C Noer), Sepatu Nomer Satu (Agus Istianto dan Simon Hate). Pementasan Dinasti selalu sarat kritik sosial. Sehingga sempat mengalami pelarangan pentas di Yogyakarta pada tahun 1980-an (Patung Kekasih dan Sepatu Nomer Satu). Pelarangan ini menimbulkan protes keras dari para budayawan, antara lain Mochtar Lubis.
Sebagai habitat kreatif, Dinasti tumbuh dalam situasi komunal Yogya akhir tahun 1970-an hingga awal tahun 1990-an. Komunalitas (kehidupan yang guyub) memungkinkan interaksi kreatif para kreator dan para intelektual. Dinasti membuka diri berdialog dengan para seniman lintas bidang dan kaum intelektual. Budayawan Emha Ainun Nadjib menjadi tokoh penting dalam pertumbuhan Dinasti hingga mencapai sosok dan karakternya. Emha telah membuka ruang kemungkinan dalam memandang teater. Teater, di mata Emha, bukan sekadar aktivitas seni pentas melainkan tesis nilai yang kritis atas realitas kehidupan. Seperti pernah dinyatakan di Taman Ismail Marzuki pada tahun 1990-an, bagi Emha hakikat teater adalah sikap kritis yang menyodorkan tesis nilai-nilai baru untuk mendinamisasi kebudayaan masyarakat.
Dengan pendekatan itu, teater dituntut untuk selalu mencari, bereksplorasi dan berinovasi baik pada level ide maupun estetika. Ini dimungkinkan jika teater selalu mampu melahirkan dirinya kembali melalui berbagai terminal pencapaian secara sosial dan secara estetis. Teater akan involutif (berjalan di tempat) jika tidak mampu menghindarkan diri dari establishment (kemapanan). q - o
*) Indra Tranggono,
Pemerhati Kebudayaan.
(SUMBER koran kedaulatan Rakyat
07/04/2008 08:26:12)

info INFO INFO INFO INFO INFO
....SANGAT PENTING..........................!!!!!!!!!

PERTUNJUKAN TEATER TAFSIR

JUDUL: TIKUNGAN IBLIS
OLEH : TEATER DINASTI YOGYAKARTA


TGL : 23 AGUSTUS 2008
CONCERT HALL TAMAN BUDAYA YOGYAKARTA
PUKUL: 20.00. wib

Tidak ada komentar: