Jumat, 19 Desember 2008

PERSIAPAN TIKUNGAN IBLIS TEATER DINASTI


(bagus jeha dan Mas Jemek)
saat istirahat latihan TIKUNGAN IBLIS
Teater DINASTI

Mas Citut,bagus jeha,Mas Jujuk Prabowo)

(bagus jeha adegan KERIS DAN WARANGKA
with mas Novi Budianto)

--------HALAMAN UTAMA_____

Rabu, 15 Oktober 2008

Kamis, 09 Oktober 2008

DIALOG BUDAYA DAN SENI

"YOGYA UNTUK SEMESTA"






SEBUAH ACARA RUTIN YANG DILAKSANAKAN DI KEPATIHAN,SETIAP BULANNYA.
KONFIRMASI ACARA:
bagus jeha
bagusjeha@yahoo.com
BULAN INI TEMA-NYA "TENTANG KEBANGSAAN"

Selasa, 23 September 2008

ACARA SASTRA DI TAMAN BUDAYA YOGYAKARTA


(om darmo,bagus jeha,mas Jay(KR),Bang Hary leo,Knyut Y KUBRO)
info acara sastra :
bagusjeha@yahoo.com

TEATER DINASTI

Reuni� Dinasti-Kanjeng, Mencari Martabat Manusia
07/04/2008 08:26:12 �NYANYIAN Gelandangan�, sebuah nomor musik puisi karya Emha Ainun Nadjib dan Teater Dinasti yang begitu populer pada tahun 1980-an, kembali dihadirkan menandai �reuni� Teater Dinasti (24/3) lalu, di Dipowinatan Yogyakarta. Puisi itu mengisahkan perlunya manusia menemukan martabatnya baik secara kultural maupun transendental.
Bedanya kali ini, nomor itu dikreasi lewat kolaborasi Dinasti dan Kiai Kanjeng (Novi Budianto, Joko Kamto, Jijit, Bobiet dan kawan-kawan). Jika dulu puisi itu dibacakan Emha, kali ini dibacakan aktor Joko Kamto dan Seteng. Perkawinan antara musik pentatonis-diatonis dan puisi yang kritis namun sublim itu mampu memukau ratusan orang. Tampak hadir Fajar Suharno, Tertib Suratmo (dua eks Bengkel Teater Rendra dan pendiri Teater Dinasti), Fauzi Ridjal (tokoh Angkatan 66 yang suntuk menemani proses Dinasti) dan para anggota Teater Dinasti antara lain pantomimer Jemek Supardi.
Teater Dinasti penting untuk dibicarakan dalam konteks pertumbuhan dunia teater di Yogyakarta. Teater yang lahir pada tahun 1977 ini memiliki beberapa karakter khas dan unik.
Pertama, kelompok ini lebih� memilih teater sebagai medium daripada teater an sich. Pada tahun 1970-an, Emha mengintrodusir dua istilah itu: teater medium merupakan aktivitas budaya yang meletakkan teater sebagai media pengolahan kepribadian manusia; sedangkan teater an sich, adalah aktivitas teater yang lebih berorientasi kepada estetisme dan masalah teknis.
Bagi Teater Dinasti, manusia adalah makhluk yang memiliki berbagai kemungkinan untuk dikembangkan. Potensi manusia akan muncul jika manusia memiliki kepribadian. Maka mengolah kepribadian menjadi sangat penting dan mendasar. Pengolahan kepribadian akan mengantar manusia kepada inti-inti nilai kehidupan: tanggung jawab, kemandirian, kejujuran, ketulusan, kerja keras, integritas, kecerdasan intelektual/spiritual, sikap sosial, kritis, sikap objektif, toleransi, idealisme dan lainnya. Semuanya itu menjadi modal penting bagi manusia dalam memasuki proses �menjadi� (to be) sesuatu (dari nothing ke something).
Di sinilah pentingnya Teater Dinasti: teater disikapi menjadi sekolah kehidupan atau workshop (bengkel kerja) kehidupan di mana jiwa, mental, pikiran dan kesadaran manusia dibangkitkan dari kondisi dan situasi yang dipenuhi hal-hal yang artifisial (semu), penuh tipu daya, dekaden, disoriented, tak berdaya dan lainnya. Saya kira, prinsip dan metode pengolahan ini masih relevan untuk dikembangkan hingga kini dalam jagat teater, bahwa ada nilai signifikan dan mendasar yang diperjuangkan dalam berteater. Yakni human dignity (martabat manusia); sebuah persoalan yang menjadi tema besar sejak masa pergerakan,� masa kemerdekaan, hingga awal tahun 1980-an, baik dalam sastra, teater, politik maupun bidang kehidupan lainnya.
Kedua, dalam hal orientasi budaya dan estetis. Dinasti memilih nilai-nilai budaya tradisi (Jawa) yang direvitalisasi. Artinya, Dinasti tidak mencomot begitu saja budaya tradisi dari laci masa silam, melainkan melakukan tafsir ulang sekaligus memberi daya hidup �baru� sehingga selalu aktual.
Orientasi pada budaya tradisi Dinasti turut mempengaruhi perkembangan teater berikutnya, misalnya dalam bentuk teater sampakan (istilah penyair Kirjomulyo) antara lain lewat Gandrik yang ditulangpunggungi oleh beberapa anggota Dinasti: Jujuk Prabowo, Novi Budianto, Butet Kartaredjasa, Saptaria Handayaningsih (almarhumah) dan Neneng Suryaningsih, selain beberapa teaterawan yang bukan anggota Dinasti: Heru Kesawa Murti, Susilo Nugroho, Djaduk Ferianto, Sepnu dan lainnya. Sadar atau tidak, keterlibatan Jujuk, Novi, Butet dalam Dinasti ikut mempengaruhi pertumbuhan Gandrik. Dan hal ini sangat wajar. Apalagi, pada masa� awal Gandrik berdiri, Fajar Suharno (sutradara Dinasti) terlibat di dalamnya, antara lain sebagai penulis naskah.
Ketiga, dalam muatan nilai, Dinasti memilih tema-tema sosial, budaya dan politik yang menjadi persoalan kehidupan masyarakat (baca: membumikan teater). Upaya ini tercermin pada pilihan lakon-lakon yang dipanggungkan, antara lain Dinasti Mataram (karya Fajar Suharno), Raden Gendrek Sapu Jagat (Gajah Abiyoso dan Fajar Suharno), Geger Wong Ngoyak Macan (karya Emha, Fajar dan Gadjah Abiyoso), Patung Kekasih (Emha, Fajar dan Simon Hate), Topeng Kayu (Kuntowijoyo) dan Umang-umang (Arifin C Noer), Sepatu Nomer Satu (Agus Istianto dan Simon Hate). Pementasan Dinasti selalu sarat kritik sosial. Sehingga sempat mengalami pelarangan pentas di Yogyakarta pada tahun 1980-an (Patung Kekasih dan Sepatu Nomer Satu). Pelarangan ini menimbulkan protes keras dari para budayawan, antara lain Mochtar Lubis.
Sebagai habitat kreatif, Dinasti tumbuh dalam situasi komunal Yogya akhir tahun 1970-an hingga awal tahun 1990-an. Komunalitas (kehidupan yang guyub) memungkinkan interaksi kreatif para kreator dan para intelektual. Dinasti membuka diri berdialog dengan para seniman lintas bidang dan kaum intelektual. Budayawan Emha Ainun Nadjib menjadi tokoh penting dalam pertumbuhan Dinasti hingga mencapai sosok dan karakternya. Emha telah membuka ruang kemungkinan dalam memandang teater. Teater, di mata Emha, bukan sekadar aktivitas seni pentas melainkan tesis nilai yang kritis atas realitas kehidupan. Seperti pernah dinyatakan di Taman Ismail Marzuki pada tahun 1990-an, bagi Emha hakikat teater adalah sikap kritis yang menyodorkan tesis nilai-nilai baru untuk mendinamisasi kebudayaan masyarakat.
Dengan pendekatan itu, teater dituntut untuk selalu mencari, bereksplorasi dan berinovasi baik pada level ide maupun estetika. Ini dimungkinkan jika teater selalu mampu melahirkan dirinya kembali melalui berbagai terminal pencapaian secara sosial dan secara estetis. Teater akan involutif (berjalan di tempat) jika tidak mampu menghindarkan diri dari establishment (kemapanan). q - o
*) Indra Tranggono,
Pemerhati Kebudayaan.
(SUMBER koran kedaulatan Rakyat
07/04/2008 08:26:12)

info INFO INFO INFO INFO INFO
....SANGAT PENTING..........................!!!!!!!!!

PERTUNJUKAN TEATER TAFSIR

JUDUL: TIKUNGAN IBLIS
OLEH : TEATER DINASTI YOGYAKARTA


TGL : 23 AGUSTUS 2008
CONCERT HALL TAMAN BUDAYA YOGYAKARTA
PUKUL: 20.00. wib

PENTAS TEATER DINASTI




INFO TEATER JOGJA!!
TEMAN-TEMAN
POKOKNYA RUGI KALAU GAK NONTON TEATER INI
SAYA KEBAGIAN NONTON TEATER DINASTI
DENGAN JUDUL "MAS DUKUN"
KIRA -KIRA 1987/1988
wooi keren tenan dab!!

RUGI KLU GAK NONTON.............................................
(SAYA HARUS KOSONGKAN HARI ITU TUK NONTON)

23 AGUSTUS 2008
CONCERT HALL TAMAN BUDAYA YOGYAKARTA

pukul : 20.00wib


PRESS RELEASE KOLABORASI TEATER DINASTI-KIAI KANJENG

Novia Kolopaking Dukung ‘Tikungan Iblis’


AKTRIS dan penyanyi Novia Kolopaking –antara lain populer lewat sinetron Siti Nurbaya dan Keluarga Cemara—mendukung pementasan lakon Tikungan Iblis karya Emha Ainun Nadjib yang siap Teater Dinasti-Kiai Kanjeng di Concert Hall Taman Budaya Yogyakarta, Sabtu 23/8/2008 pukul 20.00 WIB. Pementasan yang merupakan hasil kerjasama Progress dengan Taman Budaya Yogyakarta ini juga didukung aktor-aktor Yogya seperti Joko Kamto, Novi Budianto, Jemek Supardi, Seteng, Fadjar Suharno, Tertib Suratmo, Untung Basuki, Eko Winardi, Cithut DH, Agung Gareng dan belasan pemain muda lainnya. Penyutradaraan ditangani Jujuk Prabowo dan Fadjar Suharno. Tata pentas dan multi media digarap Pang Warman. Tata musik diolah Bobiet Santosa dan Gamelan Kiai Kanjeng Group. Sedangkan Fauzie Ridjal, Indra Tranggono, Toto Rahardjo dan Halim HD bertindak sebagai kontributor gagasan. Bertanggungjawab sebagai pimpinan produksi adalah Muzaki dan Eko Nuryono.

Bagi Novia, bermain teater bukal hal baru. “Dulu sewaktu masih SMA saya sering mengikuti festival teater di Jakarta,” ujar aktris yang kini sedang terlibat dalam sebuah sinetron religius yang akan ditayangkan pada bulan Ramadhan mendatang. Novia sangat menyukai teater karena bisa menjadi dasar seni peran di film maupun di tivi, selain juga mampu menjadi media pengolahan kepribadian dan sosialisasi diri. Ia pun merasa bahagia berinteraksi dengan Keluarga Besar Teater Dinasti dan Kiai Kanjeng. “Mereka itu sangat kreatif, ide-idenya nakal, spontan dan kadang tak terduga. Saya percaya, teater bisa memperkaya cara pandang manusia tentang kehidupan,” tutur Novia.

Keterlibatan Mbak Novia akan memberikan suasana baru dalam pementasan ini. Dengan kualitas vocalnya, beliau akan bernyanyi tentang burung Garuda yang kesepian. Selain itu, beliau juga berperan sebagai Siti Majenuna, ‘tokoh kiriman’ Iblis yang menyuarakan banyak soal tentang nilai-nilai filosofis,” ujar Fadjar Suharno, pimpinan Teater Dinasti.

Sementara itu, budayawan Emha Ainun Nadjib mengatakan, “Tikungan Iblis” lebih dimaksudkan sebagai pentas kebahagiaan Keluarga Besar Dinasti dan Kiai Kanjeng; selain mencoba menyodorkan berbagai paradigma yang berbeda tentang sosok Iblis dan ide-ide pemanggungan.

Di tengah tarikan berbagai kepentingan, manusia kini makin sulit menemukan kebahagiaan karena manusia telah tereduksi menjadi fungsi-fungsi yang kadang kurang manusiawi. Teater bisa menjadi media untuk merebut kebahagiaan itu, selain untuk pengembangan potensi,” ujar Emha.

Ditambahkan Emha, ketika para politisi dan aktor-aktor kekuasaan sibuk berlomba meraih kekuasaan lewat pemilu 2009, Dinasti dan Kiai Kanjeng justru mengajak masyarakat untuk belajar memahami berbagai persoalan sosial, budaya dan religiusitas.

Konsep Garapan

Penggarapan repertoar Tikungan Iblis berangkat dari teks puisi panjang karya Emha yang ditafsir dan diterjemahkan dalam bahasa pemanggungan baik secara teaterikal, musikal maupun auditif-visual. Secara teatrikal, repertoar ini mengeksplorasi berbagai unsur teater seperti keaktoran, pengadegan, alur, suasana dan struktur dramatik serta spektakel. Secara musikal, repertoar ini mengeksplorasi kemungkinan nada, suara, irama dan bunyi yang dilahirkan dari berbagai instrumen seperti Gamelan Kiai Kanjeng, rebana, bedug, perkusi, biola, keyboard dan lainnya. Secara visual, repertoar ini mengeksplorasi berbagai citraan yang dihasilkan dari animasi, film, dan video. Intinya, repertoar ini mencoba merengkuh dan mengawinkan multi-media.

Tema Lakon

Tikungan Iblis, mengisahkan perjalanan eksistensial manusia dari awal penciptaan Adam hingga masa di mana manusia telah berkembang biak dan membangun peradaban. Iblis –yang sejak awal manusia diciptakan sudah tidak percaya bahwa manusia mampu menjadi khalifah di bumi—akhirnya membuktikan ketidakpercayaannya itu: hidup manusia hanya berkisar dari tiga kata kunci yaitu rakus, merusak bumi dan saling berbunuh-bunuhan. Ummat manusia ternyata tak lebih menjadi sekadar ‘tapel’ –sebuah terminologi elementer manusia yang artinya sekadar wadag/jasad. Tapel bergerak dan beraktualisasi diri lebih didasari insting daripada hati nurani dan akal sehat. Mereka “selalu gagal” untuk menjadi semacam insan kamil, karena ketidakmampuannya memilih hal-hal yang bernilai dalam kehidupan.

Kekurangmampuan untuk meningkat dari kondisinya sebagai mahluk tapel itu juga yang membuat sebuah bangsa selalu mengalami kemersotan martabat. Padahal, bangsa itu semua adalah memiliki gen unggul sebagai “Burung Garuda” sejati yang memiliki kemampuan untuk terbang, menerkam, dan berjuang. Namun, karena Garuda itu kemudian dikurung oleh kekuatan yang menindas, maka burung itu tidak lagi memiliki kemampuan dasarnya. Yang menyedihkan adalah anak-anak, cucu dan cicit Garuda itu. Mereka bukan hanya tidak bisa terbang atau menerkam tapi memang tidak lagi memiliki memori untuk terbang dan menerkam. Mereka hanya bisa nothol (mematuk makanan) dan tidur. Mereka akhirnya benar-benar menjadi Garuda kelas tapel. Bukan lagi Garuda sejati.***


TIM KREATIF >> Penulis Naskah : Emha Ainun Nadjib Koordinator Penyutradaraan : Novi Budianto Parampara/supervisor/kontributor gagasan: Emha Ainun Nadjib, Fajar Suharno, Indra Tranggono, Simon Hate, Toto Rahardjo, Fauzie Ridjal. Penata Musik: Bobiet Santoso Penata Artistik: Jujuk Prabowo Penata Multimedia: Ipung Way Ming, Toto Rahardjo Para Pemeran: Tertib Suratmo (eks Bengkel Teater Rendra), Fadjar Suharno, Bambang Susiawan, Joko Kamto, Novi Budianto, Seteng, Untung Basuki, Cithut Puspawilaga, Eko Winardi, Jemek Supardi, Toro, Islamiyanto Para Pemusik: Joko, Jijit, Godor Widodo, Yoyok, Bayu, Sugiyanto, Hari Murti, Joko Kusnun, Mas Is, Bobiet, Novi


Tim Produksi >> Pimpinan Produksi : Ahmad Syakurun Muzakki Manajer Produksi: Eko Nuryono Bendahara : Muh Zaenuri Seksi Publikasi : Helmi Mustofa, M. Sholahuddin Seksi Transportasi : Agus Santoso Seksi Perlengkapan : Godor Widodo Seksi Keamanan : Rahmat Mulyono Seksi Latihan : Jujuk Prabowo